Sabtu, 08 Januari 2011

Mitos tentang KEMISKINAN dan kaitannya dengan LINGKUNGAN

Mitos tentang orang miskin dan kerusakan lingkungan. (dari P.P. Rogers, K.F. Jalal, dan J.A. Boyd. 2006. "An Introduction to Sustainable Development")

1. Sebagian besar kerusakan lingkungan dilakukan oleh orang miskin

Ini mitos, jelas keliru. Justru kerusakan oleh orang kaya jauh lebih besar. Jika pun orang miskin melakukan penebangan hutan, itu kan karena disuruh, dibiayai, serta ditampung hasilnya oleh orang kaya. Orang kaya mengkonsumsi listrik lebih banyak, makai bensin banyak knalpot mobilnya juga banyak, makan banyak ga dihabisin, dst.

2. Penghapusan kemiskinan akan mengurangi laju kerusakan lingkungan

Iya, secara terbatas. Jika yang terkena adalah mereka yang langsung berkaitan. Namun, semakin tinggi pendapatan masyarakat suatu negara, semakin besar kerusakan lingkungan untuk memenuhi gaya hidupnya. Ia tak hanya merusak lingkungan di tempatnya, namun sampai ke kampung orang, ke negara selatan. Orang miskin cenderung mandiri, pakai energi mandiri. Ia tak banyak naik kendaraan, tak banyak pakai listrik, kalau makan secukupnya dan berasal dari pekarangannya sendiri.

3. Orang miskin terlalu miskin untuk menjaga lingkungan

Buktinya, Departement For International Development di Inggris telah melakukan beberapa studi yang menunjukkan bahwa komunitas miskin mau menjaga lingkungannya, dengan beberapa persyaratan: bahwa kepemilikan mereka terhadap sumberdaya tersebut diakui dan diberikan wewenang untuk mengatur sumberdaya yang menjadi milik mereka. komunitas miskin tersebut cenderung tidak akan menjaga lingkungannya bila sumberdaya tersebut dimiliki dan diatur oleh pihak luar seperti misalnya perusahaan logging atau (bahkan) pemerintah. bila mereka diberi pengakuan dan hak untuk mengelola sumberdaya tersebut, mereka cenderung mau untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan mereka, terutama dengan (tenaga dan) kerja, karena mereka tidak memiliki uang.

4. Pertumbuhan populasi berdampak langsung pada kerusakan lingkungan

Pertambahan jumlah penduduk memang akan meningkatkan kebutuhan terhadap sumberdaya alam. namun demikian dampak terhadap lingkungan tidak hanya disebabkan oleh peningkatan populasi, namun juga oleh GDP (yang terkait dengan tingkat konsumsi populasi tersebut) dan perkembangan teknologi. Selai itu, pendidikan, kesadaran, dan kultur juga penting. Sektor kehidupan apa yang dijalankan juga penting.

5. Orang miskin tidak punya kemampuan teknis untuk mengelola sumberdaya.
Ga juga. Faktanya, local indigenous mereka sering terbukti lebih cocok atau bahkan lebih baik untuk menunjang habitat mereka. Justeru, ketika teknologi modern diperkenalkan kepada mereka, pengetahuan lokal seringkali dinilai rendah. Teknologi modern dan mesin-mesin canggih seringkali gagal menyelesaikan masalah, karena komunitas miskin tersebut seringkali tidak mengerti bagaimana merawat dan atau mengoperasikan teknologi yang asing tersebut.

Mitos-mitos yang melekat pada "PEMBANGUNAN"

Selama ini kita yakin bahwa Indonesia suatu saat akan mampu mengejar kemajuan dan dapat sejajar dengan negara-negara maju. Indonesia akan maju dan makmur seperti negara-negara maju. Apakah benar kita mampu?

Inilah salah satu sihir konsep pembangunan, bahwa negara manapun didunia, selemah dan semiskin apapun ia, yakin bahwa suatu saat mereka akan menjadi negara industri pula. Caranya adalah dengan ”membangun”. Sihir ini begitu melenakan. Untunglah adala Oswaldo de Rivero yang berusaha membangunkan kita semua dari mimpi utopis ini dengan bukunya “The Myth of Development” (2001). Kata De Rivero, pembangunan akan membawa negara-negara miskin menjadi makmur hanyalah mimpi.

Sebelumnya lanjut, mari kita tengok sebentar bagaimana mitos ini terbentuk. Mitos pembangunan dibangun dalam tempo yang tidak sebentar. Ia lahir dari ideologi peradaban Barat tentang kemajuan, yang diawali pada Abad Pencerahan ketika orang mulai menyadari gerak sejarah ke arah yang lebih baik. Gerak maju ini tercapai berkat prestasi peradaban yang didasarkan kinerja akal budi manusia.

Revolusi industri kian menegaskan keyakinan itu. Industrialisasi, untuk pertama kali dalam sejarah bangsa, memperlihatkan kemampuan untuk menciptakan kemakmuran dan mengatasi wabah kemiskinan yang merata. Masyarakat industri yang lahir dari revolusi kian yakin ia mampu menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri yang merupakan motor penggerak kemajuan yang tiada batas. Segala hambatan yang menghalangi jalan menuju kebahagiaan masyarakat industri itu bisa disingkirkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak ahli yang begitu mantap dengan keyakinannya. Dari buku Walter Rostow misalnya yaitu The Stages of Economic Growth (1960) terbaca bahwa semua bangsa di dunia niscaya akan makmur setelah melewati lima tahap kemajuan: tradisi, prakondisi untuk lepas landas, lepas landas, dorongan menuju kematangan, dan periode konsumsi tinggi alias keberhasilan pembangunan. Pandangan ini begitu sistematis, gradual, dan membuat orang yakin begitu jelasnya jalan yang akan ditapak suatu bangsa. Kita di Indonesia menerjemahkannya menjadi sebuah rencana pembangunan yang sangat gambalang yang disusun per tahun, dimana pada Pelita ke-enam kita akan sampai pada tahap lepas landas. Jika tidak ada aral melintang, kita akan mencapainya sebelum masuk ke abad ke-21. Tepat sebelum kejatuhan Orde Baru.

Itu mimpinya, faktanya bagaimana? Selama empat puluh tahun terakhir hanya ada dua negara yang berhasil beranjak dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri maju, yaitu Korea Selatan dan Taiwan. Tambahannya mungkin adalah Singapura dan Hongkong; keduanya tidak bisa disebut sebagai contoh negara bangsa karena ukurannya yang hanya seperti negara kota. Yang lain hanya beringsut, jalan di tempat, dan ada juga yang bahkan mundur ke belakang mungkin. Fakta ini menyampaikan pesan bahwa: pembangunan adalah mitos.

Selain De Rivero, beberapa pemikir lain seperti Susan George dan Noreena Hertz, jelas-jelas memperlihatkan bahwa dunia tempat kita berpijak sudah lain sama sekali dari dunia yang menghasilkan negara-negara industri maju pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Negara-negara "berkembang" di abad ini mempunyai serangkaian masalah yang kronik. Pertambahan penduduk yang tak terkendali, kerusakan lingkungan, utang bertumpuk, politik labil, ditambah deraan arus neoliberalisme membuat mimpi kemakmuran kian kabur. Penyebabnya adalah negara-negara maju telah berlaku curang dengan "menendang tangga" yang dulu mereka pakai untuk meraih kemakmuran begitu sampai di atas.

Yang terjadi justeru maldevelopment, pembangunan yang keliru. Ternyata pembangunan tidak selalu menjanjikan jalan lurus dan datar bagi manusia sebagai subjek pembangunan. Paling tidak ada delapan gejala yang menunjukkan maldevelopment itu. Semuanya menunjukkan bahwa banyak kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (fisik) belaka, yang ditetapkan pemimpin politik-ekonomi padaera pascaperang dunia II, justru tidak menciptakan masyarakat yang stabil, efisien dan adil di sebagian besar negara-negara berkembang. Berbagai cirinya adalah: (1) kesenjangan pendapatan yang amat besar antara bangsa kaya dan miskin, antara orang kaya dan orang miskin, antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, dan antara Utara dan Selatan. (2) pengangguran. (3) ancaman serius bagi lingkungan hidup, dimana alam tercemar dan terkontaminasi, sehingga keracunan berlangsung perlahan-lahan tetapi pasti. (4) kesenjangan dalam pelayanan kesehatan. (5) rendahnya perhatian terhadap pendidikan.

Selain itu, juga ditemui gejala ketimpangan dalam pola produksi dan investasi. Dalam sistem saat ini, Dunia Ketiga dianggap sebagai pensuplai bahan mentah, sumber tenaga kerja murah, dan pasar surplus hasil industri. Dunia Ketiga pun menjadi tempat investasi bagi pemilik modal dan lembaga dana internasional demi kelancaran sirkulasi modal mereka. Konon ada kira-kira 38 negara-bangsa di Selatan yang mendasarkan kehidupan ekonominya pada perdagangan ekspor satu-dua komoditas. Tetapi barang ekspor mereka sangat rendah harganya, padahal harga hasil industri (dari negara industri) amat tinggi. Ada kesenjangan besar dalam perdagangan sehingga pendapatan pun menjadi sangat timpang. Lebih tragis lagi, mereka justeru mengatasi masalah ini dengan menaikkan jumlah pinjaman dari jaringan ekonomi internasional.

Dampak buruk pembangunan (maldevelopment) juga berupa kultur. Sebagian orang mengalami kultur kemiskinan, yaitu buruknya sikap dalam berpikir dan berinteraksi dengan dunia. Dengan kata lain, maldevelopment menggerogoti pula sistem nilai, norma, dan kebiasaan.

Maldevelopment juga berupa gejala kekerasan sipil dan kekerasan struktur internasional. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa anggaran militer dunia jauh lebih besar ketimbang anggaran untuk pangan dan pendidikan. Di negara-negara selatan yang miskin ada banyak orang mati akibat kekerasan sipil dan karena kekerasan struktural-internasional. Kekerasan ganda ini dipertajam lagi oleh konflik etnik internal akibat pertikaitan ideologis, agama, dan persaingan geopolitis Amerika-Rusia demi merebut hegemoni wilayah strategis pada era perang dingin. Saat ini hal itu semakin dipertajam lagi oleh pertarungan kepentingan antara adidaya Amerika Serikat (yang seringkali dicap sebagai ”polisi” dunia) dan penguasa politis yang sangat menentangnya (seperti kasus Irak dan Korea Utara saat ini).

Paradigma-paradigma pembangunan yang disusun oleh para teoritisi dan perencanaan pembangunan tidak bisa dipungkiri lebih berputar kepada pendekatan teoritis dan keilmuan daripada sebuah kajian konseptual yang lebih mengacu kepada praktek. Pendekatan pembangunan mulai yang diwarnai oleh pendekatan ekonomi --sejak dedengkot pemikir klasik seperti Adam Smith yang mengajarkan tentang pasar dengan “invisible hand”nya, David Ricardo dengan perdagangan bebas antar negara dengan keunggulan komparatif, disusul Karl Marx dengan “ekonomi terpimpin”nya, hingga John Maynard Keyness yang mengusulkan perpaduan antara kebebasan dan pengaturan oleh pemerintah, atau yang lebih kotemporer seperti teori Tarikan Besar (Big Push) hingga Pertumbuhan Seimbang (Balanced Growth) maupun pendekatan politik –kulturalis, yakni yang percaya bahwa kemajuan bisa diperoleh dengan injeksi nilai-nilai maju (biasanya mengacu kepada nilai di negara maju sendiri) ataupun yang strukturalis, yakni yang percaya bahwa hanya perubahan secara struktural yang bisa membuat negara berkembang menjadi maju karena yang terjadi adalah struktur yang tidak benar, bukan nilai yang tidak benar.

Konsep pembangunan cenderung bersifat sektarian, sangat menonjolkan salah satu dan mengabaikan yang lain. Pendekatan ini sangat khas ilmuwan. Akan berbeda halnya di tangan kalangan ahli manajemen, karena dengan pendekatan manajemen akan lebih komprehensif dan pragmatis.

Satu kesalahan dalam manajemen pembangunan selama ini adalah penggunaan strategi “zero sum game”. Pemerintah Indonesia misalnya memilih produktivitas dengan keyakinan demokrasi akan tercapai dengan sendirinya. Namun, strategi tersebut terbukti gagal.

Memang tekanan terhadap produktivitas begitu kencang. Produktivitas menjadi nomor satu: ”the only sign of life is growth, and the only sign of growth is speed.Globalisasi juga mendesakkan fakta bahwa there is only two thing left in theworld: the quick and the dead. Salah satu jawaban dari tekanan ini adalah pendekatan “pemberdayaan”.

Beberapa neagra Asia pernah dikalim telah menjadi Macan Asia. “Macan ekonomi Asia” adalah istilah yang dicetuskan untuk menyebut Korea Selatan, Sinagpura, HongKong, dan Taiwan, yang mengalami pertumbuhan dan industrialisasi yang sangat cepat pada tahun 1960-an dan 1970-an. Empat macan tersebut memiliki beberapa karakteristik yang serupa dengan perekonomian Asia lainnya, seperti Cina dan Jepang dan menjadi pioner bagi apa yang secara khas disebut sebagai pendekatan 'Asia' terhadap perkembangan ekonomi,yakni ekonomi berbasis ekspor. Namun, bagi sebagian orang Macan Asia tersebut hanyalah mitos belaka. Paul Krugman misalnya menyebut bahwa kesuksesan Macan Asia lemah karena berhasil hanya dengan memobilisasi sumberdaya, peningkatan input industri dan infrastruktur, sebagaimana ekonomi Soviet (Paul Krugman. The Myth of Asia's Miracle. Dari majalah Foreign Affairs, November/December 1994. http://www.foreignaffairs.org/19941101faessay5151/paul-krugman/the-myth-of-asia-s-miracle.html). Jika dicermati lebih jauh, ditemukan bahwa kemajuan yang didapat digerakkan secara terpusatmelalui banyaknya subsidi pemerintah dan berbagai kebijakan yang proteksionis. ******

Mitos makanan ‘berbahaya’ yang terpatahkan

Agar Anda bisa kembali mengkonsumsi ‘makanan terlarang’, inilah mitos-mitos makanan yang telah dibantahkan. Selamat menikmati!

Mitos 1. Gula berkalori lebih tinggi dari pemanis lain

Ternyata… Pemanis seperti ‘madu alami’ terbentuk dari molekul gula yang sama, dan menghasilkan jumlah kalori yang sama, yaitu 4 kalori per gram. Gula natural membuat makanan bergizi terasa lebih nikmat tanpa membuat berat badan bertambah. Namun konsumsi gula tidak boleh lebih dari 10 persen dari total kalori yang diperlukan tubuh.

Mitos 2. Telur meningkatkan kadar kolesterol

Ternyata… Jenis kolesterol dalam telur tidak mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah. Jadi silakan menikmati telur untuk sarapan, makan siang dan makan malam, tanpa rasa bersalah! “Riset tidak pernah menunjukkan hubungan antara konsumsi telur dengan risiko penyakit jantung atau penyumbatan pembuluh darah,” ujar Don Layman, PhD., profesor di Fakultas Ilmu Makanan dan Nutrisi Universitas Illnois.

Mitos 3: Lemak jenuh meningkatkan kolesterol

Ternyata…Beberapa jenis lemak jenuh berguna bagi tubuh. Makanan seperti kelapa dan cokelat mengandung kolesterol yang disebut lemak jenuh yang ‘baik’. Ini bukan sebuah izin untuk bebas mengkonsumsi makanan berlemak jenuh karena lemak apapun cenderung berkalori besar.

Mitos 4: Menambah garam = membuat darah tinggi

Ternyata… Garam dalam air mendidih justru membuat sayuran lebih bernutrisi. Garam juga mempercepat proses memasak sehingga nutrisi yang hilang menjadi lebih sedikit. Penulis buku On Food & Cooking, Harold McGee, merekomendasikan satu sendok teh garam setiap satu gelas air. Jumlah sodium, penyebab darah tinggi, yang diserap makanan sangat kecil.

Mitos 5: Gorengan membuat gemuk

Ternyata...Gorengan yang sehat BISA dibuat, meski tidak termasuk ayam goreng restoran cepat saji Tapi jika menggunakan minyak nabati seperti kedelai, atau minyak kacang, Anda bisa membuat sajian gorengan yang lezat dan sehat.

(sumber: http://mim.yahoo.com/yahooindonesia/p/XlVFyFN/?cid=idtd)

******